Dengan langkah gontai, seorang laki-laki datang ke sebuah masjid. Ia ikut shalat berjama’ah Dzuhur siang itu. Satu per satu jama’ah pulang setelah berdzikir dan berdoa, tetapi tidak demikian dengan lelaki itu. Ia menunggu sang imam.
“Wahai Syaikh, bolehkah saya meminta wirid atau amalan yang membuat saya menjadi kaya? Saya ini miskin Syaikh, tidak punya apa-apa. Padahal saya sudah shalat. Sementara tetangga saya tidak shalat. Dia malah kaya raya,” katanya setelah mengucap salam pada ulama tersebut.
“Benarkah engkau miskin dan tidak punya apa-apa?” sang ulama balas bertanya.
“Benar Syaikh”
“Engkau punya dua buah mata. Bagaimana jika sebuah matamu ditukar ke rumah sakit sebelah masjid ini seharga 100 juta?”
“Benarkah engkau miskin dan tidak punya apa-apa?” sang ulama balas bertanya.
“Benar Syaikh”
“Engkau punya dua buah mata. Bagaimana jika sebuah matamu ditukar ke rumah sakit sebelah masjid ini seharga 100 juta?”
Lelaki itu terkejut. Ia berpikir, kok jalan keluarnya seperti ini. Meski ingin kaya, ia tidak mau kehilangan anggota tubuhnya, sekecil apa pun. “Maaf Syaikh, mata saya jauh lebih mahal dari itu.”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh, mata ini tidak dijual”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Tidak Syaikh”
“Bukankah hanya satu. Kamu masih punya satu mata lagi untuk melihat”
“Tidak Syaikh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidup saya jika saya tidak memiliki mata meski hanya sebelah.”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh, mata ini tidak dijual”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Tidak Syaikh”
“Bukankah hanya satu. Kamu masih punya satu mata lagi untuk melihat”
“Tidak Syaikh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidup saya jika saya tidak memiliki mata meski hanya sebelah.”
“Kalau begitu, bagaimana jika tanganmu saja. Satu buah tangan saja. Tangan kiri yang diamputasi, untuk disambungkan ke pasien rumah sakit tersebut. Dihargai 100 juta. Mau?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Tidak Syaikh. Bahkan 2 milyar pun saya tidak mau.”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Tidak Syaikh. Bahkan 2 milyar pun saya tidak mau.”
“Kalau begitu, ini tawaran terakhir. Tidak akan mengganggu hidupmu. Manusia itu punya dua ginjal. Sebenarnya, dengan satu ginjal pun seseorang bisa hidup. Bagaimana jika ginjalmu saja yang dijual 100 juta?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Maaf Syaikh, saya tetap tidak mau. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika saya kehilangan sebelah ginjal saya”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Maaf Syaikh, saya tetap tidak mau. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika saya kehilangan sebelah ginjal saya”
“Jika demikian halnya. Bukankah engkau ini sangat kaya, saudaraku. Jika sebelah matamu harganya lebih dari 1 milyar, jika satu tanganmu harganya lebih dari 1 milyar, jika sebelah ginjalmu harganya lebih dari 1 milyar, jika jantungmu, paru-parumu, kakimu, hidungmu, lidahmu, telingamu dan semuanya dinilai dengan uang, betapa kaya dirimu. Kekayaanmu lebih dari ratusan milyar. Dan Allah memberikan semua itu gratis. Andaikan Allah menyuruh kita membayar oksigennya, menyuruh kita menyewa penglihatan dan pendengaran, kita takkan sanggup membayar itu, berapapun uang kita. Allah Maha Rahman; Maha Pemurah dan pengasih, semua hambaNya dikasih, tak pilih kasih. Tapi kita sebagai hamba, jarang bersyukur, banyak melupakan nikmat-nikmatNya. Di surat Ar Rahman Allah mengingatkan kita dengan kalimat ‘fa bi ayyi ‘aalaa-I Rabbikumaa tukaddzibaan’ maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Ini diulang 31 kali dalam Surat Ar Rahman. Yang kalau kita tadabburi, Allah Maha Rahman, tetapi kita berulang kali mendustakan nikmatNya…”
Sampai di sini, tak terasa mata laki-laki itu telah basah. Ia baru menyadari betapa kaya dirinya. Ia baru saja menolak transaksi senilai 3 milyar, dari ratusan milyar bahkan trilyunan nilai dirinya. Dan itu adalah nikmat dari Allah yang selama ini ia lupakan.
“Coba kita lihat di rumah sakit sebelah. Orang yang sakit jantung, ia mau membayar berapapun untuk kesembuhannya. Orang yang stroke, ia tak bisa menikmati berapapun kekayaannya. Orang yang kena diabetes akut, ia tak bisa melakukan apa-apa secantik apapun istrinya. Kita ini jauh lebih beruntung daripada mereka. Apalagi mereka yang sakit sekaligus tidak beriman. Sengsara dunia akhirat. Kita punya iman, itu adalah kunci keberuntungan. Kita dikarunuai kesehatan, ini adalah modal besar untuk mendapatkan kekayaan”
Pundak laki-laki itu berguncang, tangisnya semakin menjadi. “Terima kasih Syaikh, kini saya menyadari nikmat-nikmat Allah, dan saya merasa betapa kayanya diri saya”
“Alhamdulillah… selanjutnya, dengan landasan syukur itu, tingkatkanlah ibadah dan ikhtiarmu. Perbanyaklah shalat tahajud, mintalah pada Allah di sepertiga malam terakhir. Adukan semua masalahmu. Jika surga saja diberikan oleh Allah, tentu sangat mudah bagiNya memberikan apapun di dunia ini. Rutinkan shalat dhuha. Dan bersedekahlah. Tentu, rezeki tidak datang seperti hujan uang dari langit. Berusahalah, bisa dimulai dari yang kecil asal engkau lakukan dengan sungguh-sungguh, yang penting halal. Jangan malu jika mulai dari berdagang kecil-kecilan. Hasilnya, manfaatkan sebagian untuk makan, sebagian untuk tambahan modal dan sebagian untuk sedekah.”
Jika tadi lelaki tersebut masuk masjid dengan langkah gontai, kini ia keluar dari masjid dengan langkah tegap. Hatinya dipenuhi dengan syukur, harapan baru, dan semangat baru. Sebab ia sadar, ia adalah orang kaya. Kaya dengan karunia dariNya. [Muchlisin BK/kisahikmah.com]