Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berdzikir, mengucapkan tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir niscaya akan menirunya mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, akan berbeda dengan seorang anak yang melihat kebiasaan orangtuanya berkata-kata kasar dan kotor.
Seorang anak yang diutus orangtuanya untuk memberi sedekah kepada orang-orang miskin dirumah-rumah berbeda dengan seorang anak yang disuruh orangtuanya membeli rokok dan barang-barang memabukkan.
Seorang anak melihat ayahnya berpuasa senin kamis dan melaksanakan shalat jumat dan jama’ah tidak sama dengan anak yang melihat kebiasaan ayahnya nongkrong di kafe, diskotik, dan bioskop.
Kita bisa membedakan antara seorang anak yang sering mendengar adzan dengan seorang anak yang sering mendengar ayahnya bernyanyi. Anak-anak itu pasti akan meniru apa yang sering mereka dengar.
Bila seorang ayah selalu berbuat baik kepada orangtuanya, mendoakan dan memohonkan ampunan untuk mereka, selalu berusaha tahu kabar mereka, menenangkan mereka, memenuhi kebutuhan mereka, memperbanyak berdoa, “rabbighfirli wa li wali dayya..”, berziarah ke kuburan mereka bila telah meninggal, dan bersedekah untuk mereka, serta tetap menyambung hubungan dengan teman-teman mereka dan member hadiah dengan orang-orang yang biasa diberi hadiah oleh mereka dahulu. Maka anak yang melihat akhlak ayahnya seperti ini dengan seizin Allah Subhanahu Wata’ala akan menontohnya dan juga akan memohonkan ampunan untuk orangtuanya.
Seorang anak yang diajari shalat dan agama, tidak sama dengan anak yang dibiasakan nonton film, musik, sepak bola atau gemerlapnya dunia.
Seorang anak yang melihat ayahnya shalat di malam hari, menangis karena takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, membaca al-Qur’an, pasti akan berfikir, “Mengapa ayah menangis, mengapa ayah shalat, untuk apa ayah tidur meninggalkan ranjangnya yang enak lalu berwudhu dengan air dingin di tengah malam seperti ini? Untuk apakah ayah sedikit tidur dan berdoa dengan penuh pengharapan dan diliputi kecemasan?”
Semua pertanyaan ini akan berputar dibenaknya dan akan selalu hadir dalam pikirannya. Selanjutnya dia akan mencontoh apa yang dilakukan ayahnya.
Demikian juga dengan seorang anak perempuan yang melihat ibunya berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya, menutup aurat di hadapan mereka, berhias dengan akhlak malu, ketenangan, dan menjaga kesucian diri. Dia akan mempelajari dari ibunya akhlak tersebut.
Beda dengan seorang anak perempuan yang selalu melihat ibunya bersolek di depan para lelaki bukan mahram, bersalaman, berikhtilat, duduk bersama mereka, tertawa, tersenyum, bahkan berdansa dengan lelaki bukan mahram. Dia akan mempelajari semua itu dari ibunya.
Sehingga dari itu semua, cara
yang paling tepat untuk meluruskan anak-anak harus dimulai dengan melakukan
perubahan sikap dan perilaku dari kedua orangtua. Kita harus menanamkan
komitmen dan berpegang teguh terhadap syariat Allah Subhanahu Wata’ala pada
diri kita dan anak-anak. Serta kita harus senantiasa berbuat baik kepada
orangtua kita serta menjauhi sikap durhaka kepadanya, agar anak-anak kita
nantinya menjadi anak yang berbakti, selamat dari dosa durhaka kepada kedua
orangtua dan murka Allah Subhanahu Wata’ala. Karena anak-anak saat ini adalah
orangtua di mana yang akan datang dan suatu ketika ia akan merasakan hal yang
sama ketika menginjak masa tua.
Selanjutnya,
hal yang tidak boleh kita lupakan adalah senantiasa berdoa, mengharap
pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam mendidik anak-anak kita,
janganlah kita sombong terhadap kemampuan yang kita miliki. Karena hidayah itu
berada di tangan Allah dan hanya Allah Subhanahu Wata’alalah yang membolak
balikkan hati hamba-hambaNya.*
Keshalihan dan amal baik orangtua memiliki dampak yang besar bagi keshalihan anak-anaknya, dan memberikan manfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebaliknya amal-amal jelek dan dosa-dosa besar yang dilakukan orangtua akan berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak-anaknya.
Pengaruh-pengaruh tersebut diatas datang dengan berbagai bentuk. Diantaranya berupa keberkahan amal-amal shalih dan pahala yang Allah Subhanahu Wata’ala sediakan untuknya. Atau sebaliknya berupa kesialan amal-amal jelek dan kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala serta akibat jelek akan diterimanya.
Jika orangtua shalih dan gemar melaksanakan amalan baik maka akan mendapatkan ganjaran dan pahala yang dapat dirasakan anak. Ganjaran tersebut dapat berupa penjagaan, rizki yang luas, dan pembelaan dari murka Allah Subhanahu Wata’ala. Adapun amal jelek orangtua, akan berdampak jelek terhadap anak. Dampak tersebut dapat berupa musibah, penyakit, dan kesulitan-kesulitan lain.
Oleh karena itu, orangtua hendaknya memperbanyak amal shaleh karena pengaruhnya akan terlihat pada anak. Bukti pengaruh ini dapat dilihat dari kisah nabi Khidhir yang menegakkan tembok dengan suka rela tanpa meminta upah, sehingga Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau mengambil upah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman memberitakan perkataan nabi Khidhir,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi: 82)
Dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala, “dan kedua orangtuanya adalah orang shalih” Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat, berkat ketaatan dan doa orang tuanya untuk anak-anaknya maka anak-anaknya terangkat derajatnya di akhirat agar kedua orangtuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan as sunnah.”
Allah Subhanahu Wata’ala telah memerintahkan kepada kedua orangtua yang khawatir terhadap masa depan anak–anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai macam amal ketaatan lainnya. Sehingga dengan amalan-amalan itu, Allah Subhanahu Wata’ala akan menjaga anak cucunya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
“Dan hendaklah takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa: 9)
Dari said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orangtuanya tenang dan bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS: Ath Thuur : 21)
Semoga kita bisa menjadi teladan yang baik,dengan perhiasan akhlak yang baik dan tabiat yang mulia, bagi anak-anak kita.
Amin