Perselisihan antara Ulama Haqiqat dan Ulama Syariat telah terjadi sejak jaman dulu. Mereka sebenarnya "benar" dalam bidang masing-masing. Sebagaimana terjadi antara Nabi Musa dan Nabi Khaidir. Nabi Musa, bahkan seorang Nabi, beliau tidak memiliki Makrifat. awalnya Musa berpidato di depan kaumnya, lalu dia di tanya kaumnya, siapa yang paling alim, musa menjawab aku, tapi Allah menjelaskan kalau ada manusia yang lebih alim yaitu nabi khaidir, lalu nabi musa meminta ijin untuk bertemu nabi khaidir, dan singkat perjalanan dia bertemu nabi khaidir, di antara pertemuan laut, lalu dia berjalan bersama nabi khaidir, dan oleh nabi khaidir di beri 3 syarat, jikalau musa mempertanyakan 3 hal pada perjalanan, maka musa di anggap gagal bersama nabi khaidir, dan memang jika keduanya menghukumi kejaidan dengan hukum masing-masing, maka tak akan di temui titik temu, keduanya harus saling mengisi dan menyempurnakan, Jadi beliau nabi musa menghukum sesuatu kejadian berdasarkan ilmu Syariat yang ia tahu. Nabi Khaidir pula dikaruniai Allah ilmu Makrifat, jadi ia memutuskan sesuatu berdasarkan ilmunya. Jadi dalam perjalanan bersama Nabi Musa, Nabi Khaidir telah membunuh seorang budak, membangun kembali rumah yang telah hampir musnah dan mengapak kapal yang ia tumpangi. Perbuatan ini sangat bertentangan dengan Syariat Nabi Musa. Karena tidak sabar, Nabi Musa menegur perbuatan Nabi Khidir. Dengan itu mereka terpaksa berpisah sebagaimana kesepakatan yang telah dibuat sebelum perjalanan. Nabi Khaidir melakukannya karena pada pandangan Makrifatnya, budak itu harus dibunuh karena ia bakal menjadi anak yang nakal, sedangkan ibu / ayahnya orang yang solleh. Dibawah bangunan lama ada harta anak yatim yang belum dewasa. Dalam perjalanan dengan kapal, Nabi Khaidir merusak sedikit kapal yang ditumpanginya agar tidak dirampas oleh Raja yang lalim di pelabuhan yang mereka akan singgah. Raja ini akan merampas kapal-kapal yang baik.
Dalam hal ini Nabi Musa benar dengan ilmunya dan Nabi Khaidir betul dengan ilmunya.